Rasa-rasanya memang aku harus sendiri untuk mengatur hatiku. Aku yang sombong pada cinta dan egois tentang rasa, menjauhkanku pada kasih yang sesungguhnya. Cukuplah mengerti bahwa dirinya memang sedang tak ingin diusik. Baik raga maupun jiwanya. Menurutku, akupun harusnya demikian. Mungkin penting pula untuk menjadi tidak terusik agar jiwaku memiliki kesempatan beristirahat.
Bukan tak ingin menyalahkannya, aku hanya berharap dia dapat memahami harapanku padanya. Kami punya mimpi, dan itulah yang dia selalu katakan padaku. Kadang aku terharu, tapi tak jarang pula aku diliputi kegalauan karena kondisinya yang belum kunjung jelas bagiku. Sekalipun demikian, aku berusaha menghargai dia sebagai seorang lelaki.
Sekarang dia marah. Dan tentunya padaku. Semua karena ha-hal kecil yang didukung situasi sulit dan menimbulkan ledakan dahsyat tak terkira. Aku tahu meminta maaf adalah cara sangat minimal yang bisa aku lakukan. Melihat jarak kini antara aku dan dia, aku hanya berharap dia pun memiliki intropeksi yang sama dengan yang aku rasakan. Tapi kini pentingkah itu semua?
Bagiku cukup dengan kejadian malam sabtu yang membuat kami uring-uringan tak jelas. Dan menjadi pelajaran sangat amat beharga bagi kami untuk saling memahami situasi dengan kesabaran yang limit. Sangat sulit. Aku egois. Dan aku akui itu. Tapi, sekali lagi, aku masih berharap pada kata maaf yang sudah aku lontarkan dengan harapan dua memberikan maaf itu dan memberiku waktu untuk menjalani hidupku tanpanya. Hanya beberapa waktu, sampai aku sungguh-sungguh merindukan kebersamaan itu kembali. Karena bagaimanapun, aku masih sangat merindu sampai saat ini. Hanya aku tahu aku tak mampu mengungkapkan itu semua. Dan aku hanya berharap dari kata "Maaf".
Tawangmangu, pembaringan
kedinginan dan merindukan
like this! ;)
BalasHapusmaaf :)